Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
78/Pid.Pra/2024/PN Mdn | ELENSIA ELYORA PERANGIN ANGIN | KEPALA KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN | Persidangan |
Tanggal Pendaftaran | Selasa, 31 Des. 2024 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penangkapan | ||||
Nomor Perkara | 78/Pid.Pra/2024/PN Mdn | ||||
Tanggal Surat | Selasa, 31 Des. 2024 | ||||
Nomor Surat | 78/Pid.Pra/2024/PN Mdn | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Medan, 30 Desember 2024
KepadanYth. KETUA PENGADILAN NEGERI MEDAN KELAS 1-A KHUSUSDi Jl. Pengadilan Kelurahan No.9, Petisah Tengah, Kec.Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara.
Perihal : PERMOHONAN PRAPERADILAN
Perkenalkan saya yang bertandatangan dibawah ini :
KELVIN KONDRAD TAMPUBOLON, S.H
Advocate-Penasehat Hukum pada “KELVIN TAMPUBOLON & PARTNERS”, berkedudukan dan berkantor di Jln.Karya Wisata Komp.GKPI No.10 Delitua, Namo Rambe 20145, Deli Serdang-Sumatera Utara No. Hp/Wa : 081214467001 Email: kelvintampu18@gmail.com. Baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam hal ini Bertindak dan atas nama: ELENSIA ELYORA PERANGIN-ANGIN, Kewarganegaraan WNI, Jenis Kelamin Perempuan, Tempat Lahir Cikarang, tanggal 10 Oktober 1998 Pekerjaan Wiraswasta, Agama Kristen, Alamat Desa Sidiangkat Kec.Sidikalang Kab.Dairi / Jl.Setia Budi Ujung Kel. Simp. Selayang, Kec. Medan Tuntungan, Kota Medan.
Untuk selanjutnya disebut sebagai---------------------------------------------------------------- PEMOHON
Melawan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resort Kota Besar Medan beralamat di Jl. HM. Said No. 1, Sidorame Bar. I, Kec.Medan Perjuangan, Kota Medan, Sumatera Utara.
Untuk selanjutnya disebut sebagai------------------------------------------------------------- TERMOHON
Bahwa PEMOHON mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap Penetapan Tersangka, Surat Perintah Dimulainya Penyidikian (SPDP), Surat Penangkapan, Surat
Penahanan yang ditetapkan oleh TERMOHON berdasarkan Surat Ketetapan Penetapan Tersangka nomor : S.Tap/1468/XII/RES.1.6/2024/Reskrim tertanggal 19 Desember 2024 atas nama PEMOHON dengan dilandaskan pada fakta yang termuat didalam latar belakang sebagai berikut :
UTARA, terkait dugaan Tindak Pidana “Penganiayaan” sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 Ayat (2) KUHPidana dengan terlapor atas nama PEMOHON; (vide :Bukti P-1 Surat Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 519 / XII / 2024 / SPKT / POLSEK MEDAN TUNTUNGAN / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA);
Bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan ataupun mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil ialah kebenaran yang selemgkap-lengkapnya dari suatu suatu perkara pidana dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, serta selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Demikian pula setelah Putusan Pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum sudah dilakukan dan akhirnya putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hukum acara mengatur pula pokok-pokok cara pelaksananaan dan pengawasan dari putusan tersebut. Apa saja yang telah diatur dalam hukum acara pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum di dalam kehidupan masyarakat, namun juga bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi tiap individu, baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum; Bahwa Aparat penegak hukum terkadang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertindak tidak berdasarkan prosedur sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang. Misalnya, dalam melakukan tindakan upaya paksa kepada tersangka seperti melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, atau penggeledahan yang tidak berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini terjadi karena tidak adanya profesionalisme diantara penegak hukum. Profesionalisme tersebut dapat dilihat dengan banyaknya kasus yang dikerjakan serampangan. Hal ini bisa dilihat dan tersangka yang dipaksa mengakui sesuatu yang tidak mereka lakukan. Hukum bukan lagi sebagai alat mencari keadilan, melainkan sekedar mencari kesalahan, apabila tidak ditemukan benang merahnya untuk menghubungkan seseorang sebagai sasaran bidik untuk dijadikan tersangka, diobrak-abrik lagi disisi lain yang sebenarnya hubungannya dipaksa-paksakan, maka tak mengherankan bahawa kemudian pengadilan sesat terjadi;
Bahwa lahirnya lembaga praperadilan didalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana sesungguhnya adalah salah satu sarana perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia terhadap tersangka dan terdakwa yang dikhawatirkan telah mengalami tindakan upaya paksa dari penegak hukum akibat penangkapan, penahanan, penyitaan, atau penggeledahan yang tidak berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); Bahwa tindakan upaya paksa, seperti Penetapan Tersangka, berikut penahanan mengalami perpanjangan penahanan, dan penuntutan atas tuduhan, dilakukan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan tindakan perampasan hak asasi manusia, sehingga atas pendapat yang dikemukan oleh Pakar Andi Hamzah (1986:10), praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini dengan harapan bertujuan agar hukum dapat ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu, praperadilan dapat menjadi pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Maka berdasarkan pada nilai itu pula, Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan penetapan tersangka berikut penyitaan, penahanan dan penuntutan, agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Bahwa sesuai dan mengacu pada yang diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 butir 10 menyatakan; Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, yaitu tentang:
Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain dari persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga dapat meliputi penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagaimana tertuang dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang berbunyi:
Bahwa selain itu yang menjadi substansi objek praperadilan, diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah; Pengadilan Negeri berwewenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
Bahwa Pada perkembangannya, praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP, pada faktanya sering terjadi tidak menjangkau perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi manusia terhadap seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara. Untuk itu, perkembangan yang demikian, melalui praperadilan dapat diakomodirnya dan diakui mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah atau tidaknya penyitaan dan penahanan, sebagai kewenangan praperadilan, bertujuan meminimalisir terhadap perlakuan sewenang- wenang oleh aparat penegak hukum. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU- XII/ 2014 sebagai berikut :
Bahwa Maka dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, sehingga sudah tidak dapat diperdebatkan lagi, melainkan semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam PERKAP serta KUHAP atau perundang-undangan terkait yang berlaku di NKRI. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan tersangka) tidak dipenuhi, maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan; Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka In Casu PEMOHON, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum atau tidak sah, jelas memberikan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu dijamin dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi “setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta
diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”, Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945 menentukan : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” Sehingga dengan demikian secara jelas dan tegas UUD Negara RI 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara. Berdasarkan proposisi tersebut diatas, maka yang menjadi dasar dan pisau analisis dalam permohonan praperadilan terhadap penetapan tersangka atas nama PEMOHON adalah didasarkan kepada:
Fakta hukum adalah keadaan yang tidak dibantah atau yang bersesuaian satu sama lain berdasarkan alat bukti dalam hal ini yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan Terdakwa, berdasarkan hal tersebut maka dalam mengajukan permohonan praperadilan terhadap Penetapan Tersangka sebagaimana tertuang didalam Surat Nomor No. B/1381/XII/RES.1.6/2024/Reskrim perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan perihal yang ditetapkan oleh Kepolisian Republik Indonesia Resor Kota Besar Medan kami akan kemukakan fakta hukum yang menurut hemat kami relevan bagi Ketua Pengadilan Negeri Medan Kelas 1A Khusus Cq Majelis Hakim Yang Memeriksa Perkara permohonan untuk memutus dan mengadili perkara a quo dengan seadil-adilnya guna tegaknya hukum dan dan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar NKRI 1945.
Adapun fakta hukum tersebut adalah sebagai berikut:
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka dimana langsung melakukan penahanan, merupakan tindakan yang tidak sah dan cacat hukum, maka daripada itu haruslah dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap Pemohon, oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo ini.
Bahwa Laporanan a.n ETRI WATI PURBA teregister sesuai dengan Laporan Polisi nomor : LP / B / 519 / XII / 2024 / SPKT / POLSEK MEDAN TUNTUNGAN / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 09 Desember 2024 terkait dugaan Tindak Pidana “Penganiayaan” sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 Ayat (2) KUHPidana dengan terlapor atas nama PEMOHON namun tidak ada dilakukan Visum Et Repertum terhadap ETRI WATI PURBA sebagai korban penganiayaan serta juga tidak dilakukannya Autopsi Forensik terhadap anak yang menjadi korban utnuk mengetahui penyebab kematian;
Pasal 133 KUHAP:
Pasal 134 KUHAP
Jika melihat dari acuan pasal-pasal tersebut diatas, maka Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Serta juga harus dilakukannya Autopsi Forensik terhadap mayat bila mana diduga terjadi suatu tindak pidana pembunuhan atau dihilangkannya nyawa orang lain sebagaimana untuk membuktikan penyebab kematiannya tersebut. Bahwa dalam hal proses pemeriksaan perkara yang disangkakan terhadap Pemohon tidak adanya dilakukan Visum et repertum terhadap Korban Pelapor serta juga tidak dilakukannya Aotopsi Forensik terhadap korban anak. Sehingga proses yang dilakukan Penyidik Kepolisian (ic,Termohon) bertentangan dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHAP).
Bahwa berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana disebutkan: Penetapan Tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti, sesuai ketentuan Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana disebutkan alat bukti yang sah ialah a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat d. petunjuk dan e. keterangan terdakwa sedangkan barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan ( vide : Pasal 1 angka 20 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana). Sehingga yang dilakukan oleh Penyidik (ic.Termohon) sebagaimana menurut acuan Perkap tersebut diatas bertentangan serta tidak sesuai dengan aturan di dalam Perkap tersebut; Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (2) jo Pasal 185 ayat (6) KUHAP disebutkan keterangan saksi sebagaimana disebutkan diatas berpedoman kepada asas unus testis nullus testis yaitu satu keterangan saksi tidak bisa dianggap sah sebagai alat bukti apabila berdiri sendiri dan tidak didukung dengan alat bukti lain, hal mana ditegaskan jika keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, dalam bahkan dalam menilai kebenaran keterangan saksi, harus dengan sungguh – sungguh memperhatikan:
seharusnya dimulai dengan dilakukannya penyelidikan, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh Yahya Harahap, S.H., dalam salah satu kutipan dibukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal.101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, pengertian dari “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Sehingga hal ini mengingatkan, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri sehingga terpisah dari fungsi “penyidikan”. Dan mengingat penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Sebagaimana meminjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Bahwa mengacu pendapat dan penjelasan dari Yahya Harahap, S.H. ini, maka dalam perkara ini, adapun pasal tuduhan yang diberikan Termohon kepada Pemohon, tidak memiliki jejak penyelidikan, serta dengan fakta-fakta yang dapat membuktikan atau mengarah kepada adanya tindak pidana akibat tindakan dan perbuatan Pemohon.
terhadap hukum dan HAM di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk dalam proses penegakan hukum, maka tindak kesewenang-wenang merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang dimaksud.
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan di atas, Penetapan Tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku. Berdasarkan ulasan mengenai sah atau tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan penegakan hukum oleh Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan adalah prosedur yang tidak benar dan cacat hukum, maka Yang Terhormat Bapak/Ibu Hakim Pengadilan Negeri Medan Kelas 1 -A Khusus yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo ini dapat menjatuhkan putusan yaitu : Bahwa segala sesuatu yang berhubungan untuk dan atas nama Elensia Elyora Perangin-angin yaitu mulai dari tahap Penyidikan dan atau Penetapan Tersangka dan atau Penangkapan serta juga Penahanan terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah tidak cukup bukti dan dapat dibatalkan menurut hukum.
Berdasarkan pada argumen dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara A Quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan. Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Hormat Saya, “Kuasa Hukum Pemohon”
KELVIN KONDRAD TAMPUBOLON, S.H.Advokat dan Konsultan Hukum |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |