Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI MEDAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
78/Pid.Pra/2024/PN Mdn ELENSIA ELYORA PERANGIN ANGIN KEPALA KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN Persidangan
Tanggal Pendaftaran Selasa, 31 Des. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 78/Pid.Pra/2024/PN Mdn
Tanggal Surat Selasa, 31 Des. 2024
Nomor Surat 78/Pid.Pra/2024/PN Mdn
Pemohon
NoNama
1ELENSIA ELYORA PERANGIN ANGIN
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Medan, 30 Desember 2024

 

 

KepadanYth.

KETUA PENGADILAN NEGERI MEDAN KELAS 1-A KHUSUS

Di Jl. Pengadilan Kelurahan No.9, Petisah Tengah, Kec.Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara.

 

Perihal : PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

 

Perkenalkan saya yang bertandatangan dibawah ini :

 

KELVIN KONDRAD TAMPUBOLON, S.H

 

Advocate-Penasehat Hukum pada “KELVIN TAMPUBOLON & PARTNERS”, berkedudukan dan berkantor di Jln.Karya Wisata Komp.GKPI No.10 Delitua, Namo Rambe 20145,   Deli   Serdang-Sumatera   Utara   No.   Hp/Wa   :   081214467001   Email: kelvintampu18@gmail.com. Baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam hal ini Bertindak dan atas nama:

ELENSIA ELYORA PERANGIN-ANGIN, Kewarganegaraan WNI, Jenis Kelamin Perempuan, Tempat Lahir Cikarang, tanggal 10 Oktober 1998 Pekerjaan Wiraswasta, Agama Kristen, Alamat Desa Sidiangkat Kec.Sidikalang Kab.Dairi /  Jl.Setia Budi Ujung Kel. Simp. Selayang, Kec. Medan Tuntungan, Kota Medan.

 

Untuk selanjutnya disebut sebagai---------------------------------------------------------------- PEMOHON

 

Melawan

 

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resort Kota Besar Medan beralamat di Jl. HM. Said No. 1, Sidorame Bar. I, Kec.Medan Perjuangan, Kota Medan, Sumatera Utara.

 

Untuk selanjutnya disebut sebagai------------------------------------------------------------- TERMOHON

 

  1. LATAR BELAKANG

 

Bahwa     PEMOHON      mengajukan     Permohonan      Praperadilan      terhadap     Penetapan Tersangka, Surat Perintah Dimulainya Penyidikian (SPDP), Surat Penangkapan, Surat

 

Penahanan yang ditetapkan oleh TERMOHON berdasarkan Surat Ketetapan Penetapan Tersangka nomor : S.Tap/1468/XII/RES.1.6/2024/Reskrim tertanggal 19 Desember 2024 atas nama PEMOHON dengan dilandaskan pada fakta yang termuat didalam latar belakang sebagai berikut :

 

  1. Bahwa pada tanggal 19 desember 2024 sekitar antara jam 18.00 wib di daerah setia budi ujung, sdr.i Elensia Elyora Perangin-angin (ic. Pemohon) di datangi oleh beberapa orang yang mengaku Polisi dari Polsek Medan Tuntungan.;
  2. Bahwa Pemohon ditangkap dan dibawa oleh oknum yang mengaku dari Polsek Medan Tuntungan tanpa adanya menunjukkan Tanda Pengenal, Surat Tugas dan Surat Penangkapan;
  3. Bahwa sekitar jam 20.00 wib malamnya Pemohon dibawa ke Kantor Polrestabes Medan yang beralamatkan di Jl. H.M Said No.1 Kota Medan dan diserahkan ke Unit PPA;
  4. Bahwa pada saat sesudah di Kantor Polrestabes Medan sekira jam 21.00 wib, seorang pihak keluarga dari Pemohon hendak ingin menemui Pemohon, akan tetapi dihalangi oleh penyidik yang diketahui bernama Yola dengan alasan sedang dalam pemeriksaan;
  5. Bahwa dikarenakan tidak diijinkan untuk menjenguk Pemohon, maka pihak keluarga memutuskan untuk pulang dan datang keesokan hari barulah bisa keluarga untuk menjenguk dan bertemu dengan Pemohon;
  6. Bahwa diketahui setelahnya adapun Surat Perintah Dimulainya Penydikan, Surat Penangkapan dan Surat Penahanan diberikan kepada Keluarga Pemohon diberikan pada kesesokan harinya atau yaitu pada saat Keluarga Pemohon menjenguk;
  7. Bahwa Pemohon sampai saat permohonan itu disusun untuk didaftarkan, masih berada dalam sel tahanan Sat.Tahti Polrestbes Medan;
  8. Bahwa berdasarkan surat-surat tersebut diatas yang mana sudah diterima, saya merasa adanya kejanggalan terhadap proses pemeriksaan perkara terhadap Pemohon;
  9. Bahwa terhadap Penangkapan Pemohon dan Penahanan Pemohon terkesan dipaksakan dan adanya unsur kesengajaan sehingga ada dugaan ketidak profesionalan dari personil polisi yang menangkap serta penyidik yang menangani proses perkara tersebut;
  10. Bahwa adanya surat pemberitahuan penyidikan terhadap Pemohon diberikan kepada keluarga Pemohon setelah keesokan harinya pada tanggal 20 desemnber 2024, yang mana muncul dugaan adanya ketidak profesionalan terhadap pemeriksaan permulaan terhadap Pemohon belum dilakukan proses pemeriksaan yang sesuai dengan diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
  11. Bahwa sebagaimana diketahui apabila seorang dihadapkan dengan Permasalahan Hukum dan dijadikan Tersangka dalam sebuah perkara pidana haruslah melalui serangkaian Pemanggilan secara patut melalui surat undangan resmi dan serangkaian pemeriksaan dihadapan penyidik ataupun penyidik pembentu untuk diambil serta dicatatkan keterangannya, namun hal tersebut belum dilakukan oleh Penyidik ataupun Penyidik Pembantu;
  12. Bahwa adapun penetapan tersangka terhadap seseorang haruslah sesuai dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara Pidana serta Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang Penyidikan;
  13. Bahwa diketahui Pemohon diduga melanggar Pasal 80 Ayat (3) Jo 76 C UU RI No.35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No.23 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Anak;
  14. Bahwa terhadap dugaan Pelanggaran dan perbuatan pidana tersebut diatas, Pemohon belum pernah sekalipun diperiksa, baik di Polsek Medan Tuntungan ataupun Polrestabes Medan;

 

  1. Bahwa terkait Pasal 80 Ayat (3) dimana point dalam Pasal tersebut dinyatakan adanya kematian terhadap anak akibat dari penganiayaan;
  2. Bahwa terkait adanya kematian terhadap anak tersebut, haruslah dibuktikan secara tegas dan nyata apa yang menjadi penyebab daripada kematian tersebut;
  3. Bahwa diketahui adapun dasar daripada penangkapan dan penahanan Pemohon adalah Laporan Polisi nomor : LP / B / 519 / XII / 2024 / SPKT / POLSEK MEDANTUNTUNGAN / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA

UTARA, terkait dugaan Tindak Pidana “Penganiayaan” sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 Ayat (2) KUHPidana dengan terlapor atas nama PEMOHON; (vide :Bukti P-1 Surat Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 519 / XII / 2024 / SPKT / POLSEK MEDAN TUNTUNGAN / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA);

  1. Bahwa terhadap adanya Laporan Polisi tersebut, Sat. Reskrim Polrestabes Medan menerbitkan Surat Penetapan Tersangka terhadap dua (2) orang tersangka yaitu :
    1. Elensia Elyora Perangin-angin (ic.Pemohon); berdasarkan surat ketetapan tentang penetapan tersangka nomor : S.Tap/1468/XII/RES.1.6/2024/Reskrim tanggal 19 Desember 2024;
    2. ERWIN PANDIANGAN, Kewarganegaraan Indonesia, jenis kelamin Laki-laki, tempat lahir Sidikalang, tanggal lahir 01 April 1998, pekerjaan Wiraswasta, agama Kristen, alamat Jl.Bunga Rinte Kel.Simp Selayang, Kec. Medan Tuntungan Kota Medan, berdasarkan surat ketetapan tentang penetapan tersangka nomor : S.Tap/1470/XII/RES.1.6/2024/Reskrim tanggal 19 Desember 2024;

 

 

  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

Bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan ataupun mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil ialah kebenaran yang selemgkap-lengkapnya dari suatu suatu perkara pidana dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, serta selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Demikian pula setelah Putusan Pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum sudah dilakukan dan akhirnya putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hukum acara mengatur pula pokok-pokok cara pelaksananaan dan pengawasan dari putusan tersebut. Apa saja yang telah diatur dalam hukum acara pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum di dalam kehidupan masyarakat, namun juga bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi tiap individu, baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum;

Bahwa Aparat penegak hukum terkadang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertindak tidak berdasarkan prosedur sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang. Misalnya, dalam melakukan tindakan upaya paksa kepada tersangka seperti melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, atau penggeledahan yang tidak berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini terjadi karena tidak adanya profesionalisme diantara penegak hukum. Profesionalisme tersebut dapat dilihat dengan banyaknya kasus yang dikerjakan serampangan. Hal ini bisa dilihat dan tersangka yang dipaksa mengakui sesuatu yang tidak mereka lakukan. Hukum bukan lagi sebagai alat mencari keadilan, melainkan sekedar mencari kesalahan, apabila tidak ditemukan benang merahnya untuk menghubungkan seseorang sebagai sasaran bidik untuk dijadikan tersangka, diobrak-abrik lagi disisi lain yang sebenarnya hubungannya dipaksa-paksakan, maka tak mengherankan bahawa kemudian pengadilan sesat terjadi;

 

Bahwa lahirnya lembaga praperadilan didalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana sesungguhnya adalah salah satu sarana perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia terhadap tersangka dan terdakwa yang dikhawatirkan telah mengalami tindakan upaya paksa dari penegak hukum akibat penangkapan, penahanan, penyitaan, atau penggeledahan yang tidak berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

Bahwa tindakan upaya paksa, seperti Penetapan Tersangka, berikut penahanan mengalami perpanjangan penahanan, dan penuntutan atas tuduhan, dilakukan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan tindakan perampasan hak asasi manusia, sehingga atas pendapat yang dikemukan oleh Pakar Andi Hamzah (1986:10), praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini dengan harapan bertujuan agar hukum dapat ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu, praperadilan dapat menjadi pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Maka berdasarkan pada nilai itu pula, Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan penetapan tersangka berikut penyitaan, penahanan dan penuntutan, agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Bahwa sesuai dan mengacu pada yang diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 butir 10 menyatakan; Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, yaitu tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka, atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan;

Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain dari persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga dapat meliputi penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagaimana tertuang dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang berbunyi:

  1. Pasal 77 huruf a Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

 

  1. Pasal 77 huruf a Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Bahwa selain itu yang menjadi substansi objek praperadilan, diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah; Pengadilan Negeri berwewenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

 

  1. Sah atau tidaknya penangkapan,penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Bahwa Pada perkembangannya, praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP, pada faktanya sering terjadi tidak menjangkau perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi manusia terhadap seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara. Untuk itu, perkembangan yang demikian, melalui praperadilan dapat diakomodirnya dan diakui mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah atau tidaknya penyitaan dan penahanan, sebagai kewenangan praperadilan, bertujuan meminimalisir terhadap perlakuan sewenang- wenang oleh aparat penegak hukum.

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU- XII/ 2014 sebagai berikut :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian:
  2. - [dst]
  3. - [dst]
  4. - Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia) tahun 1981, Nomor 76, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  5. - Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan.

Bahwa Maka dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, sehingga sudah tidak dapat diperdebatkan lagi, melainkan semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam PERKAP serta KUHAP atau perundang-undangan terkait yang berlaku di NKRI. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan tersangka) tidak dipenuhi, maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan;

Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka In Casu PEMOHON, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum atau tidak sah, jelas memberikan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu dijamin dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi “setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta

 

diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”, Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945 menentukan : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” Sehingga dengan demikian secara jelas dan tegas UUD Negara RI 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.

Berdasarkan proposisi tersebut diatas, maka yang menjadi dasar dan pisau analisis dalam permohonan praperadilan terhadap penetapan tersangka atas nama PEMOHON adalah didasarkan kepada:

  1. Undang-Undang Dasar NKRI 1945;
  2. Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana;
  3. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana;
  4. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Dilingkungan Kepolisian Republik Indonesia;
  5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIII/2014; 6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.

 

  1. FAKTA       HUKUM       YANG       DIJADIKAN       DASAR       PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

Fakta hukum adalah keadaan yang tidak dibantah atau yang bersesuaian satu sama lain berdasarkan alat bukti dalam hal ini yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan Terdakwa, berdasarkan hal tersebut maka dalam mengajukan permohonan praperadilan terhadap Penetapan Tersangka sebagaimana tertuang didalam Surat Nomor No. B/1381/XII/RES.1.6/2024/Reskrim perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan perihal yang ditetapkan oleh Kepolisian Republik Indonesia Resor Kota Besar Medan kami akan kemukakan fakta hukum yang menurut hemat kami relevan bagi Ketua Pengadilan Negeri Medan Kelas 1A Khusus Cq Majelis Hakim Yang Memeriksa Perkara permohonan untuk memutus dan mengadili perkara a quo dengan seadil-adilnya guna tegaknya hukum dan dan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar NKRI 1945.

 

Adapun fakta hukum tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. Pemohon Tidak Pernah Diperiksa Sebagai Calon Tersangka

 

  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan, dan melalui putusannya menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan;
  2. Bahwa M. Yahya Harahap mencatat setidaknya ada ampat hak dasar Tersangka yang tidak boleh ditelanjangi oleh penegak hukum, antara lain persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban dihadapan hukum, harus dianggap tidak bersalah atau praduga tak bersalah, penangkapan dan penahanan harus berdasarkan bukti permuaan yang cukup , serta hak untuk pembelaan diri;

 

  1. “Frasa bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya.
  2. Untuk itu berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, tidak pernah dilakukan oleh Termohon, dan tidak dapat memenuhi bukti awal hasil pengembangan penyelidikan maupun penyidikan.
  3. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi manusia dari seseorang, agar sebelum ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh Penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup.

Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka dimana langsung melakukan penahanan, merupakan tindakan yang tidak sah dan cacat hukum, maka daripada itu haruslah dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap Pemohon, oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo ini.

 

  1. Terhadap Pelapor/Korban Tidak Pernah Dilakukan Visum dan atau Autopsi

 

Bahwa Laporanan a.n ETRI WATI PURBA teregister sesuai dengan Laporan Polisi nomor : LP / B / 519 / XII / 2024 / SPKT / POLSEK MEDAN TUNTUNGAN /

POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 09 Desember 2024 terkait dugaan Tindak Pidana “Penganiayaan” sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 Ayat (2) KUHPidana dengan terlapor atas nama PEMOHON namun tidak ada dilakukan Visum Et Repertum terhadap ETRI WATI PURBA sebagai korban penganiayaan serta juga tidak dilakukannya Autopsi Forensik terhadap anak yang menjadi korban utnuk mengetahui penyebab kematian;

 

Pasal 133 KUHAP:

  1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
  2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

 

Pasal 134 KUHAP

  1. Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
  2. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
  3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

 

Jika melihat dari acuan pasal-pasal tersebut diatas, maka Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Serta juga harus dilakukannya Autopsi Forensik terhadap mayat bila mana diduga terjadi suatu tindak pidana pembunuhan atau dihilangkannya nyawa orang lain sebagaimana untuk membuktikan penyebab kematiannya tersebut.

Bahwa dalam hal proses pemeriksaan perkara yang disangkakan terhadap Pemohon tidak adanya dilakukan Visum et repertum terhadap Korban Pelapor serta juga tidak dilakukannya Aotopsi Forensik terhadap korban anak. Sehingga proses yang dilakukan Penyidik Kepolisian (ic,Termohon) bertentangan dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHAP).

 

  1. Kurangnya Alat Bukti Serta Tidak Adanya Kesesuaian Alat Bukti Untuk Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka

 

Bahwa berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana disebutkan: Penetapan Tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti, sesuai ketentuan Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana disebutkan alat bukti yang sah ialah a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat d. petunjuk dan e. keterangan terdakwa sedangkan barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan ( vide : Pasal 1 angka 20 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana). Sehingga yang dilakukan oleh Penyidik (ic.Termohon) sebagaimana menurut acuan Perkap tersebut diatas bertentangan serta tidak sesuai dengan aturan di dalam Perkap tersebut;

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (2) jo Pasal 185 ayat (6) KUHAP disebutkan keterangan saksi sebagaimana disebutkan diatas berpedoman kepada asas unus testis nullus testis yaitu satu keterangan saksi tidak bisa dianggap sah sebagai alat bukti apabila berdiri sendiri dan tidak didukung dengan alat bukti lain, hal mana ditegaskan jika keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, dalam bahkan dalam menilai kebenaran keterangan saksi, harus dengan sungguh – sungguh memperhatikan:

 

  1. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
  2. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
  3. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
  4. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

 

  1. Tidak Pernah Ada Penyelidikan atas Diri Pemohon

 

  1. Sebagaimana yang dialami, baik oleh Pemohon dan Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon, diketahui oleh Pemohon berdasarkan Tembusan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : B / 1381 / XII / RES.1.6 / 2024 / Reskrim, Padahal seharusnya dasar-dasar adanya dugaan tindak pidana,

 

seharusnya dimulai dengan dilakukannya penyelidikan, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh Yahya Harahap, S.H., dalam salah satu kutipan dibukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal.101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, pengertian dari “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Sehingga hal ini mengingatkan, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri sehingga terpisah dari fungsi “penyidikan”. Dan mengingat penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Sebagaimana meminjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

  1. Yahya Harahap, lebih lanjut menyatakan, jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan, dalam artian yang dapat dimengerti, bahwa penyelidikan dapat disamakan “tindak pengusutan” sebagai upaya mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
  2. Yahya Harahap (Ibid, hal.102) juga mengatakan, bahwa jika diperhatikan dengan sesaksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggungjawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia, sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan, seperti penangkapan atau penahanan, namun harus dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Dimana dalam hal ini, penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan terhadap untuk dan atas nama Pemohon.

Bahwa mengacu pendapat dan penjelasan dari Yahya Harahap, S.H. ini, maka dalam perkara ini, adapun pasal tuduhan yang diberikan Termohon kepada Pemohon, tidak memiliki jejak penyelidikan, serta dengan fakta-fakta yang dapat membuktikan atau mengarah kepada adanya tindak pidana akibat tindakan dan perbuatan Pemohon.

  1. Penetapan Pemohon sebagai Tersangka Merupakan Suatu Tindakan Kesewenang- wenangan dan Tidak Cukup Bukti.

 

  1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, sehingga asas hukum, asas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita. Dan negara kita adalah negara hukum sebagaimana Konstitusi UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti menterjawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan hak asasi manusia tersebut, maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikannya.
  2. Bahwa negara hukum sebagaimana Konstitusi UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya kita semua tunduk

 

terhadap hukum dan HAM di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk dalam proses penegakan hukum, maka tindak kesewenang-wenang merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang dimaksud.

  1. Bahwa dari konstitusi UUD 1945 tersebut, memiliki turunan Peraturan – Perundang-undagan mengatur tentang hukum adminitrasi negara, dimana Badan/ Pejabat Negara dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang, yaitu meliputi dan juga melampaui wewenang, yang mana mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan sebagaimana yang berdasarkan aturan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan, dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat admninistrasi negara” tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain.
  2. Pada hal lain, dalam tuduhan kepada Pemohon ditetapkan sebagai tersangka, oleh Termohon mengalami perubahan juga dijadikan sebagai saksi, memperlihatkan tuduhan yang dilakukan prematur, dengan atau kurang cukup bukti yang diperoleh Termohon dari Pemohon.

Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan di atas, Penetapan Tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku. Berdasarkan ulasan mengenai sah atau tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan penegakan hukum oleh Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan adalah prosedur yang tidak benar dan cacat hukum, maka Yang Terhormat Bapak/Ibu Hakim Pengadilan Negeri Medan Kelas 1 -A Khusus yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo ini dapat menjatuhkan putusan yaitu : Bahwa segala sesuatu yang berhubungan untuk dan atas nama Elensia Elyora Perangin-angin yaitu mulai dari tahap Penyidikan dan atau Penetapan Tersangka dan atau Penangkapan serta juga Penahanan terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah tidak cukup bukti dan dapat dibatalkan menurut hukum.

  1. PETITUM

Berdasarkan pada argumen dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:

  1. Menyatakan Permohonan Pemohon Praperadilan atas nama Elensia Elyora Perangin-angin dapat diterima untuk seluruhnya;
  2. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan atas nama Elensia Elyora Perangin-angin untuk seluruhnya;
  3. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan Nomor : S.Tap / 1468 / XII / RES/1.6 / 2024 / Reskrim Tertanggal 19 Desember 20224 sebagaimana tertuang dalam Tembusan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan Nomor : B / 1381 / XII / RES.1.6 / 2024 / Reskrim Tertanggal 19 Desember 2024, adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  4. Menyatakan Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon tidak sah dan cacat hukum
  5. Memerintahkan Termohon agar mengeluarkan Pemohon dari Tahanan;

 

  1. Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum segala keputusan atau penetapan lainnya yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  2. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  3. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  4. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara A Quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

 

 

 

 

Hormat Saya, “Kuasa Hukum Pemohon”

 

 

 

 

 

 

 

KELVIN KONDRAD TAMPUBOLON, S.H.

Advokat dan Konsultan Hukum

Pihak Dipublikasikan Ya